FULAN FEHA BENTENG 7 LAPIS
FULAN FEHA BENTENG 7 LAPIS
PAPER /ARTIL
Diajukan Kepada Akademi Pelayaran Nasional Surakarta Untuk Memenuhi Sebagian
Persyaratan Akhir Semester Mata Kuliah Bahasa Indonesia
Disusun Oleh :
Isabel P.M Amaral
NIT : 202312010
PROGRAM
STUDI
MANAJEMEN LOGISTIK
AKADEMI PELAYARAN NASIONAL
SURAKARTA
2023
KATA PENGANTAR
Puji
dan syukur penulis penjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan izin
dan kekuatan kepada penulis Isabel pereira mawar amaral. sehingg penulis dapat
menyelesaikan karya tulis ilmiah ini ddengan judul FULAN FEHAN BENTENG 7
LAPIS tepat pada waktunya. Tidak lupa
penulis sampaikan terimakasih kepada dosen pembimbing yang telah membantu
penulis dalam mengerjakan karya tulis ilmiah ini. Penulis juga mengucapkan
terimakasih kepada teman-teman yang suda memberi konstribusi baik langsung
maupun tidak langsung dalam pembuatan karya tulis ilmia ini. Tentunya ada
hal-hal yang ingin penulis berikan kepada masyaratak dari hasil kerya tulis
ilmia ini dapat menjadi sesuatu yang berguna bagi kita semua.
Dalm
menyusun karya tulis ilmia ini penulis sudah berusaha menyajikan semaksimal
mungking. Namun penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan pada karya
tulis ilmia ini.maka dari itu mohon kritik dan saran yang membangung semangat
harapan demi tercapainya karya tulis ilmia ini dapat memberikan manfaat bagi
pembaca.
Surakarta, November 2023
Penulis
DAFTARA ISI
2.2 Kajian Hasil
Penelitian Terdahulu
4.2 Objek Yang Menjadi
Daya Tarik
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Nama
fulan fehan berasal dari bahasa tetun yang artinya “Bulan jatuh” Pada zaman
dahulu, tempat ini merupakan tempat pertahanan belanda yang dibangung sekitar
tahun 1960-an untuk mencegah tentara jepang yang pada pada saat itu menduduki
Timot-Timur yang sekarang suda menjadi Republik Demokratik Timot leste. Potensi
yang terpadat di fulan fehan, fulan
fehan adalah salah satu dataran di desa Dirun kecematan lamaknen kabupaten belu,
yang langsung berbatas dengana Timor leste. Perjalanan menuju bukit fulan fehan
membutuhkan waktu sekitar satu setengah jam. Jarak dari kota Atambua sendiri
kurang lebih mencapai 40-an kilometer. Potensi yang dimiliki lembah fulan fehan
adalah banyak terdapat kuda yang bebas berkeliaran, pohon kaktus yang tumbuh
subur dan hamparan padang sabana yang luasnya tak terjangkau oleh mata.
Keberadaan
pohon kaktus yang tumbuh subur padahal tanaman ini biasanya tumbuh di gurun
pasir yang kering dan panas. Sedangkan di fulan fehan sendirinya cukup dingin,
sekitar 21 drajat celsius. Selain itu tak jauh dari lembah ini ada beberapa
obyek bersejarah lainnya yang menjadi satu kesatuan paket yangb mengdukung
pesona dan daya tarik obyek wisata ini, seperti benteng ranu hitu atau benteng
7 lapis di puncak bukit Makes. Di sudut lainya berdiri gunung lakaan yang
menjulang tinggin, Bukit batu mandeu di desa maudemu, yang puncaknya terdapat
beberapa peninggalan bersejarah berupa desa dan kuburan-kuburan bangsa melus.
Diujung timur lembah ini ada situs yang bersejarah kikit gewen yang berupa
kuburan tua yang sangat sakral. Juga ada air terjun Lesu Til di Weluli ibu kota
kecemataan lakaan.
1.2 RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang yang telah
diuraikan di atas maka dapat ditarikrumusan masalah sebagai berukut :
1. Apakah
Sejarah fulan fehan memiliki pengaruh terhadap benteng 7 lapis?
2. Apakah
ada objek yang menjadi daya tarik
terhadap benteng 7 lapis?
3. Apakah
di benteng 7 lapis ada peningalan-peningalan
yang bersejarah dan sakral? .
1.3 TUJUAN PENELITIAN
1. Mendeskripsikan
tentang sejarah fulan fehan.
2. Mendeskripsikan
objek wisata fulan fehan.
3. Untuk
mengetahui keindahaan bukit fulan fehan di kebupaten Belu.
1.4 MANFAAT
PENELITIAN
1. Agar
pembaca bisa dapat mengetahui tentang sejarah dan pesona alam yang ada di
2. Belu Nusa Tenggara Timur. Baik dari segi tempat
wisata dan juga peninggalan –
3. peninggalan
yang bersejarah dan tempat sakral yang ada di daerah tersebut.
1.5 IDENTIFIKASI MASALAH
Dalam
penelitian ini penulis menidentifikasi masalah penelitian menjadi menjadi
seperti berikut.
1. Kurangnnya
kepedulian masyatakar setempat terhadap benteng 7 lapis fulan fehan dan
sejarahnya menjadi masalah ang perlu diteliti lebih lanjut.
2.
Penurunan minat wisata, kurangnya perawatan terhadap situs bersejarah.
1.6 PEMBATASAN MASALAH
1. Sejarah
bukit fulan fehan,
Nama
fulan fehan yang berasal dari bahasa tetun yang berarti bulan jatuh, dan
benteng ranu hitu yang artinya benteng 7
lapis yang menjadi benteng pertahanan pada
masa penjajahan
2. Faktor yang mendorong masyarakat untuk
menjadikan tempat tersebut
menjadi tempat
wisata yaitu pemandangan
yang indah dan peninggalan yang bersejarah .
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 KAJIAN TEORI
Atambua,
NTTOnlinenow.com – tahun ketiga pemerintahan kabupeteng Belu mengelenggarakan
feltival Fulan Fehan III tahun 2019.
Kegiatan festival tersebut merupakan program pemkab Belu kerja sama dengan kementrian
pariwisata dan ekonomi kreatif indinesia. Festival bertajuk
melestarikan budaya daerah
Timor berlangsung didanag fulan fehan puncak gunung lakaan, desa Dirun,
kecematan Lamaknen, Kabupaten Belu, Timor barat wilayah
perbatasan RI-RDTL, senin (28/10/2019). Disaksikan NTTOnlinenow.com, senin (28/10/2019) pukul
14.00 wita ribuan warga memadati
hamparan dagang sabana warga kedua desa Dirun dan Maudemu memanfaatkan momen
itu dengan berjualan makanan ringan dan kebutuhan lainnya. Festival fulan fehan
III menghadirkan sejumlah penari asal Negara tetangga Timor Lesta dengan menampilkan berbagai
tarian daerah khas daerah Tiomor Barat dan Timor-Timur (sekarang Timor leste)
Penari
sangar tatoli timor oan asal Negara
timor leste, klibur kurtura loro oan aprezenta dance historical baluk rai Timor
leste husi tempu portugues ba to’o ukun an sebagai pembuka awal festival
tersebut. Penampilan sangar tatoli timor oan
menggambarkan sejarah budaya
timot sejak masuknya portugis dengan beragam tarian timor portu, dansa
koremetan, tebe timor rasik dan klibur kultura timor oan tarian timor leste.
Penampilan beikutnya penari belu dengan penari
belu dengan tarian likurai, kit-kit antama, tebe kolaborasi dengan adat
meminta hujan serta tarian khas daerah
belu lainnya. Aksi para penari yang memiliki hubungan keluarga erat meski berbeda negara
memukau ribuan warga yang memadati
padang sabana fulan fehan.
Menurut (Lay2019), kedamaian yang tercipta di lokasi
dilaksanakan kegiiatan festivall ini akan terus dihembuskan keseluruh negeri
tercinta, indonesisa. Kehadiran kita semua ada disini untuk membangun negeri
kita yang tercinta. ”Mari cinta
budayay,cinta rai belu, cinta NKRI. Sebagai daerah perbatasan, mari kita jaga
persahabatan kedua negara,” (pinta bupati Belu itu)
2.2 KAJIAN HASIL PENELITIAN TERDAHULU
Penelitian
terdahulu adalah penelitian yang telah dilakukan oleh beberapa orang dan
biasanya digunakan untuk dijadikan acuan atau perbandingan dengan penelitian
yang akan penulisan lakukan. Pada bagian ini peneliti akan mencantungkan
beberapa penelitian yang telah penetili. Peneliti pertama oleh Meliga astariana
ayu putri(2016) yang berjudul “seni tari tradisional” seni tari merupakan
bagian dari pembelajaran seni yang berfungsi sebagai media ekspresi diri,
komunikasi, bermain, dan menyalurkan minat serta bakat yang dimiliki setiap
orang. Hasil menelitian menunjukan bahwa minat beberapa orang terhadap tari
tradisional dalam kategori rendah sebesar 3,1125%, kategori sedang sebesar
56,25%, dan kategori tinggi sebesar 40,625%. Berdasarkan penelitian diatas dapat
disimpulkan bahwa minat orang muda zaman sekarang ini terhadap tari tradisional
sangatlah rendah.
Penelitian kedua oleh Kasimirus
mali(2022) yang berjudul “Analisis pengembangan fulan fehan sebagai destinasi budaya luhur di kabupeten
belu ” penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengembangan wisata budaya di kebupaten belu
dan untuk mengetahui pengembangan kepariwisataan dusun Dirun. pengembangan
fulan fehan sebagai destinasi budaya
luhur di kabupeten belu, diharapkan mampu memberikan dampak positif terhadap
pelestarian budaya di kabupaten Belu khususnya di Fulan fehan.
Penelitian ketiga oleh(2019)
Agustina maria laku yang berjudul “ bentuk penyajian tarian tebe ”tarian tebe
merupakan salah satu tarian yang berfungsi sebagai penghubung masyarakat desa
Aitoun dan dipercaya sebagai salag satu warisan leluhur yang digunakan sebagai
bentuk upacara syukur kepada alam dan Tuhan atas hasil panen yang diperoleh.
Tarian tebe biasanya dihubungkan dengan kegiatan pertanian saat panen raya
tanaman padi.
2.3 KERANGKA BERFIKIR
Kerangka
berfikir ini berjutuan agar peneliti dapat menggambarkan alur kegiatan pada
konsep partisipasi masyarakat terhadap pengembangan pariwisata di kabupaten
belu guna meningkatkan kunjungan aktivitas para wisatawan mancanegara. Hal pertama yang perlu di
perhatikan dalam pengembangan ini adalah
bagaimana sistem pengembangan witasa di fulan fehan.
![]() |
Gambar 2.3 Diagram kerangka berpikir |
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 JENIS PENELITIAN
Penelitian
ini menggunakan metode kualitatis dan berbentuk deskriptif dalam penelitian ini
peneliti berusahan memaparkan atau memberikan gambaran secara detail dan
sistematif tentang persepsi masarakat yang ada di daerah belu terhadap
ketersediaan sarana dan perasaran pariwisata di daerah belu khususnya felan
fehan. Nama fulan fehan berasal dari
bahasa tetun yang artinya “Bulan jatuh”.
Pada
zaman dahulu, tempat ini merupakan tempat pertahanan belanda yang dibangung
sekitar tahun 1960-an untuk mencegah tentara jepang yang pada pada saat itu
menduduki Timot-Timur yang sekarang suda menjadi Republik Demokratik Timot
leste.
3.2 Lokasi
Penelitian
Lokasi
penelitian dilaksanakan di objek wisata sejaraha fulan fehan kecematan lakanen
desa Dirun.
3.3 Informasi
Penelitian
Penentuan
informasi atau narasumber dalam penelitian ini untuk di wawancarai secara
mendalam dilakukan dengan cara, peneliti memilih orang yang dipandang memiliki pengetahuan dan informasi mengenai
permasalahan yang akan di teliti melalui penentuan sampel yaitu penarikan
informasi secara purposive yang dilakuakan memilihan subjek berdasarkan kriteria spesifik yang di
tetapkan penelitian.
3.4 Teknik
Pemgumpulan Data
Teknik
pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode metode
Sebagai
berikut:
1. Metode
observasi
Metode
observasi adalah teknik pengumpulan data diman penyelidik mengadakn pengamatan
secara langsung (tanap alat) terhadap grjala-gejala yang dihadapi (diselidiki),
baik pengamatan itu dilaksanakan dalam situasi yang sebenarnya maupun situasi buatan yang diadakan. Metode
ini merupakan pencatatan dan pengamatan secara sistematik terhadap
fenomena-fenomena yang ada ditempat penelitian .
2. Metode
dokumentasi
Metode
dokumentasi yaitu metode yang digunakan penulis untuk memperoleh data dengan
cara menggali kumpulan data verbal, baik yang berbentuk tulisan atau tidak.
Metode ini digunakan untuk memperoleh data –data yang ada di desa tampat
penelitian seperti jumlah anggota, profesi masing-masing anggotan , arsip
tertulis maupun gambar kegiatan kelompok nelayan, serta hal lain yang dibutukan
untuk menunjang dan mempermudah peneliti memdapatkan data.
3.5 Teknik
Keabsahan Data
Dalam penelitian, semua hal harus dicek keabsahannya agar
hasil penelitiannya dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya dan dapat
dibuktikan keabsahannya. Dalam hal ini penulis menggunakan trigulasi dengan
sumber, yaitu; membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu
informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda dalam penelitian
kualitatif.
Trigulasi dengan sumber dapat dicapai melalui beberapa jalan,
yaitu;
1. membandingkan data
hasil pengamatan dengan data hasil wawancara.
2. membandingkan apa yang dikatakan orang didepan umum dengan
apa yang dikatakan secara pribadi.
3. membandingkan apa
yang dikatakan orang-orang tentang situasi penelitian dengan apa yang dikatakan
sepanjang waktu.
3.6 Teknik Analisis Data
Analis data dalam penelitian merupakan kegiatan yang sangat
penting yang didalamnya dibutuhkan ketelitian dan kehati-hatian terhadap data
yang telah dihasilkan. Melalui analis data, data yang terkumpul dalam bentuk
data mentah dapat diproses secara baik untuk menghasilkan data yang matang.
Dalam penelitian ini penulis menggunakan teknik analisis data secara diskriptif
yang diperoleh melalui pendekatan kualitatif, dimana data-data yang telah
dihasilkan dari penelitian dan kajian, baik secara teoritis dan empiris yang
digambarkan melalui kata-kata atau kalimat secara benar dan jelas.
Adapun langkah-langkah analisis data tersebut yaitu:
1. Reduksi data Yaitu proses pemilihan, pemusatan perhatian
pada penyerderhanaan, pengabstrakan dan transformasi data “kasar” yang muncul dari catatan-catatan tertulis
dilapangan. Reduksi data merupakan bentuk analisis yang menajamkan,
menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu dan mengorganisasi data
dengan cara yang sedemikian rupa sehingga kesimpulan finalnya dapat ditarik dan
di verifikasi.
2. Pengambilan kesimpulan
Data yang sudah diperolah tersebut dicari maknanya dengan
cara mencari pula, model, tema, hubungan, persamaan, hal-hal yang sering
muncul, dan sebagainya. Data yang didapat peneliti mencoba mengambil kesimpulan.
4.1 SEJARAH FULAN
FEHAN
Daerah kabupaten Belu pada umumnya terdiri atas
daratan bukit dan pegunungan serta hutan. Daerah Belu tergolong daerah yang curah
hujannya sedikit yang secara tidak langsung iklim tersebut mempengaruhi pola
hidup dan watak keseharian masyarakat Belu. Desa Dirun berlokasi di dataran
tinggi, meliliki luas 14.400 ha, dengan batas-batas; sebelah Utara Desa Tohe,
sebelah Timur Lewuwalu, sebelah Selatan Sisi Fatuberal, sebelah Barat Maudemu.
Desa Dirun memiliki jumlah penduduk 3.500 orang. Benteng makes berada di bukit Makes, Desa Dirun, Kecamatan
Lakmanen, kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur, pada titik koordinat 51 L
729239, 8992108 UTM (pintu masuk) dengan ketinggian 1200 Mdpl. Lingkungan sekitar benteng makes, berupa
lapangan safana, tumbuhan berupa kaktus, rumput, dan pohon” yang mudah hidup di
lahan kars. benteng ini berjarak ± 2 km dari Dusun Nuawa’in Desa Dirun. Sedangkan
jarak dari Kota Atambua menuju Desa Dirun ± 40 km, dengan waktu perjalanan ±
1,5 jam. Saat ini daerah sekitar yang sebut dengan Fulan Fehan, dataran safana
sudah menjadi objek wisata alam, dan sudah sering dikunjungi oleh wisatawan
Indonesia dan asing. Hanya saja tidak terlalu ramai, biasanya ramai pada saat
musim liburan. Bukit Makes, padang safana Fulan Fehan masuk kedalam zona Hutan
Milik Negara.
Tempat tinggal orang-orang Belu dahulunya banyak berada di
daerah perbukitan yang dikelilingi oleh semak berduri dan batu karang yang
tidak mudah didatangi orang dan hidup secara berkelompok, dengan maksud untuk
menjaga keamanan dari gangguan orang luar maupun binatang buas. Rumah asli
penduduk Belu bernama Lopo, yaitu rumah yang berbentuk seperti
kapal terbalik dan ada yang seperti gunung. Atapnya menjulur ke bawah hampir
menyentuh tanah. Dinding rumah terbuat dari Pelepah Gewang, biasa
disebut Bebak, tiang-tiangnya terbuat dari kayu-kayu balok,
sedang atapnya dari daun gewang. Di bagian dalam rumah dibagi menjadi dua
ruangan yaitu bagian luar diberi nama Sulak untuk ruang
tamu, tempat tidur tamu, dan tempat anak-anak laki-laki dewasa .Pada bagian
dalam disebut Nanan, yaitu tempat untuk tidur keluarga dan
tempat makan. Sebelum pengaruh agama masuk ke daerah ini masyarakat di sini
sudah mempunyai kepercayaan kepada Sang Pencipta, Sang Pengatur, yang biasa
mereka sebut dengan Uis Neno (Dewa Langit) dan Uis
Afu (Dewa Bumi). Banyak ragam upacara dan sesaji yang ditujukan
kepada dewa-dewa tersebut untuk meminta berkah kesuburan tanah, hasil panen dan
lain-lain. Salah satu contoh adalah upacara Hamis Batar no Hatama
Mamaik suatu upacara sebagai tanda rasa syukur dimulainya musim petik
jagung.
Tidak banyak bahkan tidak ada data-data tertulis mengenai Situs
Benteng Ranu HItu/Makes, data sejarah mengenai benteng ini lebih banyak
didapatkan melalui cerita dari tetua adat (makoan) seorang penutur. Dapat
dikatakan cerita mengenai Situs Benteng Ranu Hitu/Makes ini berkembang dan
berlanjut dengan budaya lisan dari generasi sebelumnya ke generasi berikutnya.
Sesuai dengan berbagai cerita sejarah daerah di Belu, manusia Belu pertama yang
mendiami wilayah Belu adalah “Suku Melus”. Orang Melus dikenal dengan sebutan “Emafatuk
Oan Ema Ai Oan“, (manusia penghuni batu dan kayu). Tipe
manusia Melus adalah berpostur kuat, kekar dan bertubuh pendek. Semua para
pendatang yang menghuni Belu sebenarnya berasal dari “Sina Mutin Malaka”.
Malaka merupakan tanah asal-usul pendatang di Belu yang berlayar
menuju Timor melalui Larantuka. Khusus untuk para pendatang baru
yang mendiami daerah Belu terdapat berbagai versi cerita. Kendati demikian,
intinya bahwa, ada kesamaan universal yang dapat ditarik dari semua
informasi dan data.
Menurut cerita bahwa ada tiga orang bersaudara
dari tanah Malaka yang datang dan tinggal di Belu, bercampur dengan
suku asli Melus. Nama ketiga bersaudara itu menurut para tetua
adat masing-masing daerah berlainan. Dari Makoan
Fatuaruin menyebutnya Nekin Mataus (Likusaen), Suku
Mataus (Sonbai), dan Bara Mataus (Fatuaruin).
Sedangkan Makoan asal Dirma menyebutnya Loro
Sankoe (Debuluk Welakar), Loro Banleo (Dirma Sanleo)
dan Loro Sonbai (Dawan). Namun menurut beberapa makoan asal Besikama
yang berasal dari Malaka ialah Wehali Nain, Wewiku
Nain dan Haitimuk Nain. Ketiga orang bersaudara dari Malaka tersebut
bergelar raja atau loro dan memiliki wilayah kekuasaan yang jelas dengan
persekutuan yang akrab dengan masyarakatnya. Kedatangan
mereka dari tanah Malaka hanya untuk menjalin hubungan
dagang antar daerah di bidang kayu cendana dan hubungan etnis keagamaan. Dari
semua pendatang di Belu, pimpinan dipegang oleh “Maromak Oan“
Liurai Nain di Belu bagian Selatan. Bahkan menurut para
peneliti asing Maromak Oan kekuasaannya juga
merambah sampai sebahagian daerah Dawan (Insana dan Biboki).
Dalam melaksanakan tugasnya di Belu,
Maromak Oan memiliki perpanjangan tangan yaitu Wewiku-Wehali
dan Haitimuk Nain. Selain juga ada di Fatuaruin, Sonbai dan Suai
Kamanasa serta Loro Lakekun, Dirma, Fialaran, Maubara, Biboki dan Insana.
Maromak Oan sendiri menetap di Laran sebagai pusat
kekuasaan kerajaan Wewiku-Wehali. Para pendatang di Belu tersebut,
tidak membagi daerah Belu menjadi Selatan dan Utara sebagaimana
yang terjadi sekarang. Menurut para sejararawan, pembagian Belu
menjadi Belu bagian Selatan dan Utara hanyalah merupakan strategi
pemerintah jajahan Belanda untuk mempermudah
system pengontrolan terhadap masyarakatnya. Dalam keadaan
pemerintahan adat tersebut muncullah siaran dari pemerintah raja-raja
dengan apa yang disebutnya “Zaman Keemasan Kerajaan”. Apa
yang kita catat dan dikenal dalam sejarah daerah Belu
adalah adanya kerajaan Wewiku-Wehali (pusat kekuasaan seluruh
Belu).
Di Dawan ada kerajaan Sonbay yang
berkuasa di daerah Mutis. Daerah Dawan termasuk Miamafo dan
Dubay sekitar 40.000 jiwa masyarakatnya. Menurut penuturan para tetua
adat dari Wewiku-Wehali, untuk mempermudah pengaturan system
pemerintahan, Sang Maromak Oan mengirim para pembantunya ke seluruh wilayah
Belu sebagai Loro dan Liurai. Tercatat nama-nama pemimpin
besar yang dikirim dari
WewikuWehali seperti Loro Dirma, Loro Lakekun, Biboki Nain,
Herneno dan Insana Nain serta Nenometan Anas dan
Fialaran. Ada juga kerajaan Fialaran di Belu bagian Utara yang dipimpin Dasi
Mau Bauk dengan kaki tangannya seperti Loro Bauho, Lakekun, Naitimu,
Asumanu, Lasiolat dan Lidak. Selain itu ada juga nama seperti Dafala, Manleten,
Umaklaran Sorbau. Dalam perkembangan pemerintahannya muncul lagi tiga
bersaudara yang ikut memerintah di Utara yaitu Tohe Nain, Maumutin dan Aitoon. Dari
perkawinan antara Loro Bauho dan Klusin yang dikenal dengan nama As
Tanara membawahi Dasi Sanulu yang dikenal sampai sekarang ini
yaitu Lasiolat,Asumanu, Lasaka, Dafala, Manukleten, Sorbau, Lidak,
Tohe Maumutin dan Aitoon. Dalam berbagai penuturan di Utara maupun
di Selatan terkenal dengan “empat jalinan terkait”. Di Belu Utara bagian
Barat dikenal Umahat, Rinbesi Hat yaitu Dafala, Manuleten, Umaklaran
Sorbauan dibagian Timur ada Asumanu Tohe, Besikama-Lasaen, Umalor-Lawain.
Dengan demikian rupanya keempat bersaudara
yang satunya menjelma sebagai tak kelihatan itu yang
menandai asal-usul pendatang di Belu membaur dengan penduduk asli Melus yang
sudah lama punah.
Benteng ini bernama Benteng Ranu Hitu atau yang
biasa dikenal orang-orang lokal sebagai Benteng Lapis 7, karena berada di atas
bukit Makes maka benteng ini juga sering disebut dengan Benteng Makes. Benteng
ini adalah benteng utama Kerajaan Dirun pada waktu itu, benteng perang
tradisional di pedalaman yang pada saat itu di Timor masih sering terjadi
perang antar suku. Menurut cerita masyarakat setempat Benteng Ranu Hitu/Makes
sudah ada sebelum penguasaan Portugis dan beberapa kali berpindah tangan sampai
akhirnya dijaga oleh 3 pahlawan lokal dai 3 suku lokal yaitu suku Loos, suku
Sri Gatal, dan suku Monesogo. Benteng ini dulu merupakan tempat para pahlawan,
atau yang biasa di sebut Meo. Di benteng ini biasanya mereka mengatur strategi
atau bahkan melakukan tes kekebalan tubuh dengan cara memotong-motong tubuh
mereka sendiri untuk membuktikan apakah tubuh mereka bisa kembali menjadi utuh
sebelum maju ke medan perang. Di benteng ini
terdiri dari 7 lapis pertahanan yang dimulai dari awal pintu masuk hingga
akhirnya ke lapisan terakhir dimana terdapat sebuah area bulat dari batu
membentuk sebuah tempat pertemuan, tempat dimana raja-raja waktu dulu
berkumpul. Susunan bangku ruang pertemuan dari batu tersebut masih terlihat
asli dan alami, terdiri dari batu-batu alam pipih yang disusun sedemikian rupa
dan melingkar (tata batu melingkar).
Di tengah tempat pertemuan terdapat dua buah
batu besar dan kecil yang konon dulu dipergunakan untuk menaruh kepala musuh
mereka. Salah satu bangku batu terlihat spesial dari yang lainnya karena
memiliki singasana batu yang lebih tinggi. Ternyata itu merupakan tempat raja
Suku Uma Metan. Sebuah batu bulat pipih juga tergeletak sebagai alas duduk yang
tidak boleh diduduki oleh siapapun juga, bahkan sampai sekarang. Masyarakat
Timor percaya jika mereka menduduki bangku tersebut, maka nasib buruk bisa
menimpa mereka. Tepat di belakang bangku tersebut terdapat sebuah batu persegi
panjang yang ternyata adalah makam dari sang raja pertama Kerajaan Dirun, Raja
Dasi Manu Loeq. Menurut tutur yang disampaikan oleh Makoan, Batu yang digunakan
untuk membangun benteng didatangkan dari Desa Ikin dan Desa Lewalo.
Ada sebuah tradisi yang masih berlanjut dari Suku
Uma Metan, menaruh sirih pinang di dekat makam raja. Hal ini merupakan adat
istiadat masyarakat setempat. Sirih pinang memang identik sekali dengan
suku-suku di Timor, bisa sebagai lambang persahabatan, lambang perdamaian juga
lambang keakraban. Seakan dengan mengunyah sirih pinang menjadikan kita sebagai
bagian dari keluarga masyarakat Timor. Selain itu sirih pinang juga merupakan
simbol rasa hormat. Dengan menaruh sirih pinang di dekat makam raja. Suku Uma
Metan percaya bahwa arwah leluhur masih banyak bersemayam di tempat itu.
Benteng Ranu Hitu sendiri kabarnya dibuat selama tujuh hari tujuh malam, dimana
pada siang hari dikerjakan dengan tenaga manusia dan pada malam hari dikerjakan
oleh para arwah leluhur. Tidak heran suasana mistis terasa kental sekali saat
berada di tempat ini. Di bagian halaman belakang benteng, dimana terdapat Hol
Makes, yaitu tempat memanggil pasukan atau rakyat, serta tempat khusus untuk
meneriakkan perang pada waktu itu. Letaknya memang di pinggir tebing dengan
lembah-lembah di sekitarnya sehingga sangat yakin jika kita berteriak, akan
terdengar keras sekali karena efek pantulan dari lembah-lembah tersebut.
Terbayangkan bagaimana situasi pada masa itu, mungkin saja lebih hebat dari
film box office yang biasa kita lihat di bioskop. Sampai
saat ini belum ada penelitian yang lebih lanjut dan mendalam terhadap Benteng
Ranu Hitu/Makes, sehingga data sejarah hanya berupa data lisan, tutur dari
orang yang lebih tua/yang dituakan oleh masyarakat Desa Dirun (seorang Makoan)
pemangku adat.
4.2 Objek Yang Menjadi Daya Tarik
KBRN. Atambua: Fulan Fehan salah satu objek wisata
yang menjadi daya tarik kunjungan wisatawan. Terletak di Desa Dirun Kecamatan
Lamaknen Kabupaten Belu berjarak 26 Km dari Kota Atambua. Fulan Fehan yang
merupakan sebuah lembah di kaki gunung Lakaan dengan sabana yang sangat luas
hingga kini telah banyak di kunjungi para wisatawan. Koordinator pengelola
Kawasan Wisata Fulan Fehan Alfonsius Bere kepada rri.co.id. Rabu, (4/1/2023)
mengatakan, kunjungan para wisatawan baik lokal maupun mancanegara cukup
banyak, namun tahun ini mengalami penurunan disebabkan cuaca yang kurang
bersahabat. Kalau sejak Januari sampai dengan akhir november 2022 pengunjung
yang datang ke Fulan Fehan sangat signifikan," ucap Alfonsius. Peningkatan
kunjungan wisatawan ini, jelas Alfonsius tidak lepas dari dukungan Pemerintah
Daerah yang telah mensuport lewat penyediaan infrastruktur khusus jalan.
Melalui peningkatan akses jalan ini memudahkan wisatawan untuk datang ke lokasi
wisata Fulan Fehan.
"Untuk itu, kami menyampaikan terima kasih
banyak kepada Pemerintah Daerah dan Kadis Pariwisata Kabupaten Belu," ujar
Alfonsius.Sehubungan pengembangan lokasi wisata alam Fulan Fehan, diakui Alfons
masih membutuhkan banyak pembenahan, dalam hal ini campur tangan semua
pihak khususnya Pemerintah Daerah."Dibutuhkan saat ini berupa aula serba
guna dan kamar tidur untuk penginapan bagi wisatawan," kata Alfonsius.
Melalui dukungan ini, kiranya apa yang menjadi
harapan masyarakat lewat pengelolaan kawasan Fulan Fehan, nantinya memberikan
dampak positif terhadap ekonomi masyarakat sekitarnya.
BAB V
PENUTUPAN
5.1 KESIMPULAN
Kebudayaan merupakan salah satu warisan
budaya dari pada nenek moyang yang sampai sekarang masih dilestarikan oleh masyarakat. Begitu juga halnya dengan masyarkat
Belu yang sangat bannyak memiliki halis kebudayaan dari masyarakat Belu
sendiri. Festival fulan kreatifitas untuk sebuah sebuah pengenalan sekelompok
masyarakat. Kita ketahui budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan
dimiliki bersama oleh sebuah sekelompok orang dan diwariskan dari generasi ke
generasi.
Budaya
terbentuk dari banyak unsur termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat,
bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karaya seni. Bahasa sebagaimana juga
budaya, merupakan bagian yang tidak dapat terpisahkan dari manusia. Tari yang
dilihat dari fungsinya terdiri dari tari upacara, tari hiburan, tari
pertujukan. Pada masyarakat Belu karna festival felan fehan dengan seribu
penari merupakan hasil dari sabuah tali persahabatan antara masyarakat di desa
Dirun dan daerah perbatasan Timor leste. Maka di buatlah makala ini yang
berjudul tentang sejarah fulan fehan dan benteng 7 lapis ini agar semua pembaca
bisa mengetahui bahwa kebudayaan sudah menjadi ciri khas budaya itu sendiri dan
menjadi kebangaan tersendiri.
5.2 SARAN
1. 1. untuk
pemerintah supaya tetap memperhatikan dengan ketat para wisatawan yang
melakukan wisata.
2. 2. untuk masyarakat supaya selalu memperhatikan
dan berpartisipasi dengan baik kepada para wisatawan terkhusus para peneliti
supaya peneliti memperoleh data dengan akurat dan vadil.
3. 3. untuk peneliti selanjutnya supaya
memperhatikan dengan baik informasi penelitian supaya data yang diperoleh
benar-benar sesuai dengan data dari tempat penelitian.
DAFTAR PUSTAKA
Kasimirus H.M. Mali,(2020).Analisis Pengembangan Fulan Fehan Sebagai Destina Budaya Luhur Di Kabupaten Belu Nusa Tenggara Timur. AMPTA Yogyakarta.(3 november 2023)
Agustina F, Fakklau.(2019).Bentuk Penyajian Tarian Tebe Ipi Lete Dalam Kehidupan.Universitas Khatolik widya Mandira.Fakultas keuangan dan ilmu pendidikan.(4 november 2023)
Neni Juniati.(2021).Pembelajaran Seni Budaya (Tari Persembahan).SMAN 3 Siak Hulu.(6 november 2023)
Nama : ISABEL P.M. AMARAL
NIT : 202312010
Program studi : Manajemen Logistik Angkatan 2023
Akademi Pelayaran Nasional Surakarta
Komentar
Posting Komentar